Ada kejadian menarik saat Kiai Kholil Bangkalan masih menjadi santri di Pesantren Langitan Tuban. Seperti biasanya Kholil muda selalu berjamaah, yang merupakan keharusan para santri. Suatu ketika di tengah sholat Isya’ tiba-tiba Kholil tertawa terbahak-bahak.
Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Muhammad Noer yang menjadi imam saat itu. Seusai sholat berjamaah, Kholil dipanggil ke ndalem kiai untuk diinterogasi.
Dengan berkerut kening kiai bertanya.
“Kholil, kenapa waktu sholat tadi kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu bahwa hal itu mengganggu kekhusyukan sholat orang lain. Dan, sholatmu tidak sah.” ucap Kiai Noer sambil menatap Kholil.
“Maaf kiai, waktu sholat tadi saya tidak dapat menahan tawa. Saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul (tempat nasi). Karena itu saya tertawa. Salahkah yang saya lihat itu kiai?” jawab Kholil muda dengan tenang, mantap dan sangat sopan.
Kiai Noer terkejut, Kholil benar. Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya. Kiai Noer duduk dengan tenang sambil menarik nafas. Sementara matanya menerawang lurus ke depan, lalu serta merta berbicara kepada Kholil.
“Kau benar anakku. Saat mengimami sholat tadi perut saya memang sudah sangat lapar. Yang terbayang dalam fikiran saya memang hanya nasi.” ucap Kiai Noer secara jujur.
Maka sejak kejadian itu kelebihan Kholil menjadi buah bibir. Tidak saja di pesantren Langitan, tetapi juga di sekitarnya.
Kiai Kholil muda tidak sedang meremehkan gurunya. Beliau sangat ta’dzim dengan semua gurunya. Beliau hanya perantara kehendak Allah. Di balik peristiwa itu ada suatu hikmah yang dalam. Allah bermaksud menyempurnakan iman sang guru.
*Dikutip dari buku biografi Kiai Kholil, Surat Kepada Anjing Hitam.