Gus Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut.
Umur 5 tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran.
Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan.
Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.
Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.
Pada umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.
Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun.
Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash II.
Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.
Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman (1951-1952).
Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.
Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga.
Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.